Defenisi dan Konsep Kewirausahaan, Wirausahawan Dilahirkan atau Diciptakan?
KONSEP KEWIRAUSAHAAN DALAM KONTEKS PILIHAN KARIR
Jumlah penduduk Indonesia sebesar 220 juta jiwa membutuhkan sedikitnya 4,4 juta jiwa wirausaha, namun jumlah wirausaha yang ada mencapai 400 ribu jiwa atau kurang dari 1% populasi penduduk Indonesia, sementara menurut David McClelland bahwa sebuah negara baru bisa maju jika jumlah wirausaha terdapat sebesar 2% dari populasi penduduknya. Amerika Serikat misalnya, memiliki wirausaha 11,5% dari populasi penduduknya. Sedangkan negara tetangga Singapura terdapat sekitar 7,2% warganya bekerja sebagari wirausaha, sehingga negara kecil itu jauh lebih maju. Untuk menciptakan 4,4 juta jiwa wirausaha di Indonesia, paling tidak dibutuhkan waktu sedikitnya 25 tahun.
Jika melihat jumlah kebutuhan wirausaha baru untuk memposisikan Indonesia sebagai negara maju dan estimasi waktu yang cukup lama untuk mencapainya, maka saat ini perlu segera diupayakan langkah-langkah agar jumlah wirausaha baru dapat bertambah dengan waktu pencapaian yang relatif singkat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan dengan penciptaan wirausaha baru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi.
Hanya saja, data dan fakta telah membuktikan bahwa terdapat kecenderungan bahwa umumnya mahasiswa yang saat ini menempuh pendidikan di perguruan tinggi menginginkan pekerjaan yang mapan setelah mereka lulus menjadi sarjana. Fenomena membludaknya pendaftar ketika pemerintah membuka pendaftaran pegawai negeri sipil (PNS) dalam setiap tahun sebagai salah satu indikator. Meskipun setiap tahun pemerintah membuka pendaftaran, namun tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar dari mereka yang mendaftar mengalami kekecewaan karena tidak berhasil lulus. Peluang untuk menjadi PNS semakin kecil lagi setelah pemerintah memutuskan penundaan sementara (moratorium) tambahan formasi untuk penerimaan PNS sejak 1 September 2011 hingga 31 Desember 2012. Keterbatasan terserapnya lulusan perguruan tinggi di sektor pemerintah menyebabkan perhatian beralih pada peluang bekerja pada sektor swasta, namun beratnya persyaratan yang ditetapkan kadang membuat peluang untuk bekerja di sektor swasta juga semakin terbatas.
Satu-satunya peluang yang besar adalah bekerja dengan memulai usaha mandiri. Hanya saja, jarang kita temukan seseorang sarjana yang mau mengawali kehidupannya setelah lulus dari perguruan tinggi dengan memulai mendirikan usaha. Adanya kecenderungan yang demikian berakibat pada tingginya residu angkatan kerja berupa pengangguran terdidik. Jumlah lulusan perguruan tinggi dalam setiap tahun semakin meningkat tidak sebanding dengan peningkatan ketersediaan kesempatan kerja yang akan menampung mereka.
Pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi merupakan salah satu solusi yang dapat diambil untuk menekan terjadinya peningkatan jumlah pengangguran yang berstatus sarjana. Meskipun pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi secara umum ditujukan agar mahasiswa mampu menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang- peluang yang ada di sekitarnya dan tidak semata-mata ditujukan agar mahasiswa setelah lulus nantinya dapat membuka usaha baru, namun dengan bekal pembelajaran kewirausahaan setidaknya mereka telah memiliki bekal wawasan berwirausaha yang dapat dimanfaatkan ketikamereka tidak terserap pada lapangan kerja yang telah ada. Bahkan dengan mendirikan usaha baru, mereka justru dapat membantu dalam menekan meningkatnya angka pengangguran dengan merekrut angkatan kerja yang belum terserap pada lapangan kerja yang telah ada.
Pembelajaran kewirausahaan di Fakultas Pertanian sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar untuk melahirkan wirausaha-wirausaha baru terdidik. Bidang kajian dan disiplin ilmu yang dipelajari oleh mahasiswa terkait dengan kebutuhan dasar manusia (penyediaan pangan dan kebutuhan dasar lainnya) memungkinkan mahasiswa mampu menciptakan ide-ide bisnis/produk yang lebih inovatif dan kreatif dengan memanfaatkan keunggulan komparatif yang masih didominasi oleh sektor pertanian sebagai basis ekonomi pada hampir seluruh daerah di Indonesia. Pengelolaan usaha di bidang pertanian oleh tenaga-tenaga terdidik lebih memungkinkan terwujudnya pemanfaatan sumberdaya alam yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan demikian, munculnya wirausaha-wirausaha baru di bidang pertanian yang merupakan lulusan perguruan tinggi tidak hanya dapat mengurangi tingkat pengangguran, namun juga dapat memberikan nilai tambah terhadap produk-produk primer sehingga dapat berdampak pada pengentasan kemiskinan terutama di perdesaan, pencapaian ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada tercapainya stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Defenisi dan Konsep Kewirausahaan
Penggunaan dan pengertian atau terminologi kewirausahaan yang merujuk pada istilah entrepreneurship di Indonesia cukup beragam. Olehnya itu, perbedaan ini kadang cukup mengundang perdebatan yang tidak pernah ada habisnya. Jika kita hanyut dalam perbedaan pendefenisian saja tentu hasilnya adalah polemik yang hanya bersifat semantik. Dalam pembelajaran ini kita tidak mengarahkan materi ke arah tersebut, namun dengan penyajian beberapa defenisi dan konsep kewirausahaan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, minimal dapat memperkaya pemahaman kita mengenai defenisi dan konsep kewirausahaan itu sendiri.
Perkataan kewirausahaan (entrepreneurship) berasal dari Bahasa Perancis, yakni entreprendre yang berarti melakukan (to under take) dalam artian bahwa wirausahawan adalah seorang yang melakukan kegiatan mengorganisir dan mengatur. Istilah ini muncul di saat para pemilik modal dan para pelaku ekonomi di Eropa sedang berjuang keras menemukan berbagai usaha baru, baik sistem produksi baru, pasar baru, maupun sumber daya baru untuk mengatasi kejenuhan berbagai usaha yang telah ada.
Arti kata kewirausahaan berbeda-beda menurut para ahli atau sumber acuan, karena adanya perbedaan penekanan. Richard Cantillon (1725) mendefinisikan kewirausahaan sebagai orang-orang yang menghadapi resiko yang berbeda dengan mereka yang menyediakan modal. Jadi definisi Cantillon lebih menekankan pada bagaimana seseorang menghadapi risiko atau ketidakpastian. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Blaudeu (1797) bahwa kewirausahaan adalah orang-orang yang menghadapi resiko, merencanakan, mengawasi, mengorganisir dan memiliki. Demikian halnya Albert Shapero (1975) mendefenisikan sebagai pengambilan inisiatif mengorganisir suatu mekanisme sosial ekonomi dan menghadapi resiko kegagalan.
Mendefenisikan kewirausahaan dengan penekanan pada penciptaan hal-hal baru dikemukakan oleh Joseph Schumpeter (1934) bahwa kewirausahaan adalah melakukan hal-hal baru atau melakukan hal-hal yang sudah dilakukan dengan cara baru, termasuk di dalamnya penciptaan produk baru dengan kualitas baru, metode produksi, pasar, sumber pasokan dan organisasi. Schumpeter mengaitkan wirausaha dengan konsep yang diterapkan dalam konteks bisnis dan mencoba menghubungkan dengan kombinasi berbagai sumberdaya.
Sejalan dengan penekanan pada penciptaan hal-hal baru dan resiko, Hisrich, Peters, dan Sheperd (2008) mendifinisikan sebagai proses penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung resiko keuangan, fisik, serta resiko sosial yang mengiringi, menerima imbalan moneter yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pribadi.
Wennekers dan Thurik (1999) melengkapi pendefenisian kewirausahaan dengan mensintesiskan peran fungsional wirausahawan sebagai: "...kemampuan dan kemauan nyata seorang individu, yang berasal dari diri mereka sendiri, dalam tim di dalam maupun luar organisasi yang ada, untuk menemukan dan menciptakan peluang ekonomi baru yang meliputi produk, metode produksi, skema organisasi dan kombinasi barang-pasar serta untuk memperkenalkan ide-ide mereka kepada pasar, dalam menghadapi ketidakpastian dan rintangan lain, dengan membuat keputusan mengenai lokasi, bentuk dan kegunaan dari sumberdaya dan instusi". Selain menekankan pada penciptaan hal-hal baru dan resiko, defenisi yang dikemukakan oleh Wennekers dan Thurik juga menekankan pada kemauan dan kemampuan individu. Hal ini sejalan dengan defenisi yang tertuang dalam Inpres No.
4 Tahun 1995 yang mendefenisikan kewirausahaan sebagai semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan/atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Dari berbagai defenisi yang telah dikemukakan, tanpa mengecilkan berbagai pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kewirausahaan merupakan kemauan dan kemampuan seseorang dalam menghadapi berbagai resiko dengan mengambil inisiatif untuk menciptakan dan melakukan hal-hal baru melalui pemanfaatan kombinasi berbagai sumberdaya dengan tujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan memperoleh keuntungan sebagai konsekuensinya.
Wirausahawan Dilahirkan atau Diciptakan?
Pertanyaan ini sudah sering dan sejak lama menjadi fokus perdebatan. Apakah wirausahawan itu dilahirkan (is borned) yang menyebabkan seseoarng mempunyai bakat lahiriah untuk menjadi wirausahawan atau sebaliknya wirausahawan itu dibentuk atau dicetak (is made) pada dasarnya berkaitan dengan perkembangan cara pendekatan, yakni pendekatan klasikal dan event studies. Pendekatan bersifat klasikal menjelaskan bahwa wirausaha dan ciri-ciri pembawaan atau karakter seseorang yang merupakan pembawaan sejak lahir (innate) dan untuk menjadi wirausahawan tidak dapat dipelajari. Sedangkan pendekatan event studies menjelaskan bahwa faktor-faktor lingkungan yang menghasilkan wirausaha atau dengan kata lain wirausaha dapat diciptakan.
Sifat wirausahawan merupakan bawaan lahir sebagaimana pendapat pakar yang menggunakan pendekatan klasikal sebenarnya sudah lazim diterima sejak lama. Namun, saat ini pengakuan tentang kewirausahaan sebagai suatu disiplin telah mendobrak mitos tersebut dan membenarkan pendapat yang menggunakan pendekatan event studies. Seperti juga disiplin-disiplin lainnya, kewirausahaan memiliki suatu pola dan proses.
Terlepas dari kedua pendapat dengan pendekatan yang berbeda tersebut, pendapat yang lebih moderat adalah tidak mempertentangkannya. Menjadi wirausahawan sebenarnya tidaklah cukup hanya karena bakat (dilahirkan) ataupun hanya karena dibentuk. Wirausahawan yang akan berhasil adalah wirausahawan yang memiliki bakat yang selanjutnya dibentuk melalui suatu pendidikan, pelatihan atau bergaul dalam komunitas dunia usaha. Tidak semua orang yang memiliki bakat berwirausaha mampu untuk menjadi wirausahawan tanpa adanya tempaan melalui suatu pendidikan/pelatihan. Kompleksnya permasalahan-permasalahan dunia usaha saat ini, menuntut seseorang yang ingin menjadi wirausahawan tidak cukup bermodalkan bakat saja. Ada orang yang belum menyadari bahwa dia memiliki bakat sebagai wirausahawan, setelah mengikuti pendidikan, pelatihan ataupun bergaul dengan di lingkungan wirausaha pada akhirnya akan menyadari dan mencoba memanfaatkan bakat yang dimilikinya. Olehnya itu, tidak salah jika ada berpendapat bahwa bila ingin belajar berwirausaha tidak perlu mengandalkan bakat, namun yang terpenting adalah memiliki kemauan dan motivasi yang kuat untuk mulai belajar berwirausaha.
Motivasi Berwirausaha
Salah satu kunci sukses untuk berhasil menjadi wirausahawan adalah adanya motivasi yang kuat untuk berwirausaha. Motivasi untuk menjadi seseorang yang berguna bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakatnya melalui pencapaian prestasi kerja sebagai seorang wirausahawan. Apabila seseorang memiliki keyakinan bahwa bisnis yang (akan) digelutinya itu sangat bermakna bagi hidupnya, maka dia akan berjuang lebih keras untuk sukses.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh melalui berwirausaha yang mungkin saja sulit atau bahkan tidak dapat diperoleh jika memilih berkarir atau bekerja pada lembaga/instansi milik orang lain atau pemerintah. Manfaat tersebut terdiri dari manfaat bagi diri sendiri dan bagi masyarakat, sebagaimana yang diuraikan berikut ini:
a. Memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan potensi diri yang dimiliki
Banyak wirausahawan yang berhasil mengelola usahanya karena menjadikan keterampilan/hobbynya menjadi pekerjaannya. Dengan demikian dalam melaksanakan aktifitas pekerjaannya dengan suka cita tanpa terbebani. Berwirausaha menjadikan diri kita memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri dengan menentukan dan mengontrol sendiri keuntungan yang ingin dicapai dengan tanpa batas. Dengan adanya penentuan keuntungan yang akan dicapai, kita juga memiliki kebebasan untuk mengambil tindakan dalam melakukan perubahan-perubahan yang menurut kita penting untuk dapat mencapainya.
b. Memiliki peluang untuk berperan bagi masyarakat
Dengan berwirausaha, kita memiliki kesempatan untuk berperan bagi masyarakat. Wirausahawan menciptakan produk (barang dan/atau jasa) yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pemberian pelayanan kepada seluruh masyarakat terutama konsumen yang dilandasi dengan tanggung jawab sosial melalui penciptaan produk yang berkualitas akan berdampak pada adanya pengakuan dan kepercayaan pada masyarakat yang dilayani.
Adanya manfaat bagi diri sendiri dan masyarakat dalam berwirausaha dapat menjadi motivasi tersendiri bagi kita tergerak untuk mulai berwirausaha. Perlu disadari bahwa pada dasarnya kita bertindak sebagian besar dipengaruhi oleh motivasi, bukan karena terpaksa. Kesuksesan atau ketidaksuksesan seseorang dalam karirnya sangat tergantung dari motivasinya untuk menjalankan karirnya tersebut. Seandainya kita dapat memulai menanamkan dalam hati kita bahwa dengan berwirausaha akan memberikan manfaat bagi diri kita dan masyarakat, serta manfaat-manfaat lain yang akan diperoleh, mungkin kita akan termotivasi untuk memulai berwirausaha. Memperbanyak alasan untuk tidak memulai sebenarnya adalah penghambat bagi kita untuk termotivasi.
Terkait dengan motivasi untuk berwirausaha, setidaknya terdapat enam “tingkat” motivasi berwirausaha dan tentunya masing-masing memiliki indikator kesuksesan yang berbeda-beda, yaitu:
- Motivasi material, mencari nafkah untuk memperoleh pendapatan atau kekayaan.
- Motivasi rasional-intelektual, mengenali peluang dan potensialitas pasar, menggagas produk atau jasa untuk meresponnya.
- Motivasi emosional-ekosistemik, menciptakan nilai tambah serta memelihara kelestarian sumberdaya lingkungan.
- Motivasi emosional-sosial, menjalin hubungan dengan atau melayani kebutuhan sesama manusia.
- Motivasi emosional-intrapersonal (psiko-personal), aktualisasi jatidiri dan/atau potensi- potensi diri dalam wujud suatu produk atau jasa yang layak pasar.
- Motivasi spiritual, mewujudkan dan menyebarkan nilai-nilai transendental, memaknainya sebagai modus beribadah kepada Tuhan.
Umumnya seseorang yang memulai berwirausaha termotivasi untuk mencari nafkah melalui perolehan pendapatan dan untuk memperoleh kekayaan. Motivasi ini tidak salah, namun jika fokus kita berwirausaha hanya untuk mengejar keuntungan dan kekayaan semata, bisa jadi kita akan melakukan apa saja tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip etika untuk mencapai keuntungan dan kekayaan. Kita perlu sepakat bahwa keuntungan dan kekayaan yang dapat kita raih hanyalah merupakan konsekuensi dari kemampuan kita untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada stakeholders kita. Inilah alasan yang mendasari motivasi material menempati tingkatan yang terendah.
Berbeda halnya jika kita memulai berwirausaha sebagai modus beribadah kepada Tuhan, apapun tindakan yang kita lakukan dalam berwirausaha senantiasa dilandasi dengan nilai ibadah yang kita peroleh. Dengan motivasi spiritual yang kita miliki, kita akan memaksimalkan pemanfaatan potensi diri kita sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat potensi yang diberikan tersebut sehingga kita tidak dikategorikan sebagai orang yang mubazir. Dengan motivasi spiritual kita akan memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh stakeholders dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan pelayanan terbaik yang kita berikan tersebut kita harus yakin akan memberikan keuntungan bagi kita. Dan bukankah dengan melakukan tindakan-tindakan terbaik bagi diri kita, orang lain dan lingkungan adalah perbuatan yang bernilai ibadah di sisi Tuhan? Inilah alasan yang mendasar sehingga motivasi spiritual ditempatkan pada tingkatan tertinggi.
Kewirausahaan Eksistensial
Pendekatan pembelajaran kewirausahaan pada Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin diarahkan pada konsep kewirausahaan eksistensial. Konsep ini memfokuskan pemahaman kewirausahaan yang berorientasi pada aktualisasi jati diri dan potensi-potensi diri sebagai pembelajar kewirausahaan. Kata eksistensial dalam hal ini memiliki tiga arti, yaitu: (1) keberadaan manusia itu sendiri, atau, cara khusus manusia dalami menjalani hidupnya; (2) makna hidup; dan (3) perjuangan manusia untuk menemukan makna yang konkrit di dalam hidupnya, dengan kata lain, keinginan seseorang untuk mencari makna hidup.
Dalam mempelajari kewirausahaan, para pembelajar perlu menyadari bahwa keberadaan (eksistensi)nya selalu ditentukan oleh dirinya sendiri. Sebagai manusia dibutuhkan kesadaran akan diri, tahu diri dan tahu menepatkan dirinya baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakatnya. Setiap manusia memiliki kebebasan dalam memilih dari berbagai jenis pilihan yang dianggap benar untuk mencapai kesempurnaan
hidup. Hidup tidak bisa diterima sebagaimana adanya, karena hidup belum selesai sehingga dapat diubah dan bahkan harus diubah ke arah yang lebih baik. Adanya kebebasan untuk berbuat dan menjadi sesuatu yang diinginkan harus diiringi dengan tanggung jawab atas kebebasan itu.
Di dalam kebebasannya, setiap manusia bertindak senantiasa berdasarkan karakter, kecenderungan, potensi dan pembawaannya masing-masing. Setiap manusia harus menyadari bahwa Tuhan telah memberikan kelebihan-kelebihan kepada dirinya yang bisa jadi tidak dimiliki oleh orang lain, dan jika kelebihan-kelebihan tersebut tidak digunakan secara maksimal, berarti manusia yang bersangkutan kurang mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh-Nya. Hal ini sangat jelas ditegaskan dalam Kitab Suci Al-Quran Surah Al- Isra’ ayat 84 yang terjemahannya, sebagai berikut:
“Katakanlah: Setiap orang berbuat menurut syakilah-nya masing- masing. Karena Tuhan-mu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (Q.S. Al-Isra’ [17]: 84).
Syakilah dalam ayat tersebut dimaknakan sebagai karakter, kecenderungan, potensi, pembawaan atau diartikan sebagai bentukan-Nya atau sesuai dengan desain yang ditetapkan oleh-Nya bagi seseorang. Nabi Muhammad Saw juga menegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh HR. Bukhari:
“Setiap orang itu dibuat mudah untuk melakukan sesuatu yang diciptakan untuknya” (HR. Bukhari).
Dalam konteks lain, Jack Trout (2000) mengemukakan bahwa “Jika Anda mengabaikan keunikan Anda dan mencoba untuk memenuhi kebutuhan semua orang, Anda langsung melemahkan apa yang membuat Anda berbeda”. Dalam konteks yang berbeda pula, seorang penulis dan wartawan Inggeris Katharine Whitehorn (1975) mengemukakan: “The best career advice to give to the young is Find out what you like doing best and get somone to pay you for doing it”
Berangkat dari argumen bahwa setiap manusia memiliki potensi, kebebasan untuk bertindak dan menjadi sebagaimana yang diinginkan, serta alasan-alasan yang cukup mendasar sebagaimana yang telah diuraikan, Suryana (2005) mendefenisikan kewirausahaan eksistensial sebagai jalur aktualisasi potensi-potensi diri (bakat, sikap, pengetahuan, keterampilan) untuk menciptakan “dunia esok” lebih baik dari “dunia kini” dengan menghasilkan produk/jasa yang berfungsi meningkatkan kualitas hidup sesama
manusia dan menyajikannya pada tingkat harga dan tempat yang terjangkau oleh pemakai (konsumen) yang membutuhkan serta mengendalikan konsekuensi penerimaan yang wajar bagi dirinya dan para stakeholders dan mengendalikan dampak ke arah positif bagi komunitas lokal, komunitas bisnis dan lingkungan global dengan menjadikan entitas bisnisnya sebagai simpul komunitas stakeholders.
Dengan defenisi tersebut, kewirausahaan eksistensial dilandasi dengan beberapa asas, yaitu:
- Asas Fungsi Kekhalifahan Manusia. Tuhan telah mendelegasikan wewenang pengelolaan Bumi kepada manusia untuk menciptakan nilai tambah bagi keseluruhan penghuninya, serta telah melengkapi setiap manusia dengan potensi fitrahnya masing- masing.
- Asas Nilai-nilai Terpadu. Produk yang diciptakan wirausaha merupakan pewujudan dan pembawa nilai (“kebajikan”) tertentu, yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan kualitas kehidupan sesama manusia.
- Asas Efektivitas Pelayanan. Wirausaha menciptakan sistem penyampaian produk serta jasa-jasa pendukungnya hingga pengguna dapat menjangkaunya dan memanfaatkannya secara efektif.
- Asas Profitabilitas yang Adil. Profit merupakan syarat dan indikator keberhasilan usaha, perlu terdistribusi secara adil antar stakeholders, karena itu tidak harus mencapai tingkat maksimum
- Asas Sustainabilitas. Wirausaha mengendalikan dampak lingkungan dari usahanya agar tidak merusak (negatif), dan bahkan berusaha menciptakan dampak positif (pelestarian sumberdaya alam).
- Asas Bisnis sebagai Simpul Komunitas. Wirausaha tidak membatasi kiprahnya hanya pada transaksi-transaksi bisnis semata, tapi berlanjut dengan merajut komunitas internal maupun komunitas eksternal antar stakeholders.
Penutup
Mengingat besarnya manfaat yang dapat diperoleh melalui kewirausahaan terutama untuk memperbaiki kualitas hidup individu dan dan kualitas berkehidupan, maka kewirausahaan perlu tetap dipelihara sebagai salah satu alternatif pilihan karir atau misi untuk mengisi hidup secara bermakna. Mengapa selalu menggantungkan hidup pada orang lain sementara kita telah dibekali oleh Tuhan berbagai potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mandiri atau malah memberikan peluang kerja bagi orang lain. Tugas kita adalah bagaimana mengenal potensi diri yang ada dan memanfaatkannya.
Menjadi wirausahawan memang tidaklah mudah sebagimana kita mengucapkannya, namun dengan bersedia menjadi pembelajar kewirausahaan setidaknya dapat membantu untuk memperoleh modal awal mengenal kewirausahaan beserta seluruh aspek-aspeknya yang dapat dijadikan dasar untuk memilih kewirausahaan sebagai alternatif karir masa depan. Tidak dapat dipungkiri bahwa Inti proses kehidupan ini ialah pembelajaran diri secara berkelanjutan. Olehnya itu sebagai pembelajar kewirausahaan, janganlah berhenti belajar untuk sekadar mengetahui kewirausahaan, namun perlu ditindaklanjuti untuk belajar menerapkan apa yang dipelajari mengenai kewirausahaan, dan pada akhirnya dapat belajar menjadi wirausahawan yang unggul.
Setiap diri seseorang telah dibekali dengan berbagai potensi yang berbeda-beda oleh Tuhan. Salah satu penemuan terpenting pada diri seseorang adalah ketika ia mampu menemukan potensi dirinya yang dapat ia tumbuhkembangkan menjadi sebuah potensi unggulan untuk mencapai kesuksesan yang akan dicapai dalam kehidupan. Tugas penting setiap pribadi adalah menggali, mengenali dan mengembangkan potensi dirinya yang telah Tuhan berikan, sebagai wujud syukur nikmat atas pemberian-Nya dan juga merupakan syarat mutlak yang penting untuk dilakukan bagi seseorang yang ingin meraih kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Olehnya itu, setiap pembelajar wirausaha dapat memilih titik awal dan rute perjalanan yang berlainan berdasarkan potensi diri yang dimilikinya menuju posisi wirausaha paripurnanya masing-masing.
Berangkat dari proses pembelajaran kewirausahaan eksistensial ini, diupayakan memberi ruang pilihan yang luas bagi mahasiswa untuk memilih gagasan/ide usaha atau produk sesuai dengan potensi dirinya masing-masing, ibarat di sebuah kafetaria setiap pengunjung dapat memilih makanan dan minuman dengan sistem swalayan sesuai dengan seleranya dan tentunya kemampuan finansial yang dimiliki. Metode pembelajaran dirancang dan diterapkan selaras dengan pembentukan karakter-karakter dan/atau kompetensi wirausaha yang dituju.
Setidaknya satu hal yang patut disyukuri bahwa kenyataan kita telah diberi pengalaman dan masih diberi kesempatan untuk hidup dan bermimpi. Suatu hal yang merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri sebaik-baiknya.
Komentar
Posting Komentar